Jakarta, CNBC Indonesia – Pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) berpotensi membuat cicilan utang Indonesia membengkak. Hal ini dikarenakan sebagian utang berdenominasi valuta asing (valas) seperti dolar AS.
Berdasarkan data Refinitiv pada pukul 09:00 WIB, rupiah dibuka melemah 0,41% ke posisi Rp 15.910/US$. Kemarin dolar AS sampai menyentuh level Rp 15.960.
“Rupiah yang terus mengalami pelemahan berakibat pada meningkatnya risiko pembayaran bunga dan pokok utang luar negeri pemerintah,” kata ekonom yang juga merupakan Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira Adhinegara kepada CNBC Indonesia, Senin (1/4/2024).
Pergerakan nilai tukar rupiah itu pun telah jauh dari asumsi nilai tukar dalam asumsi dasar ekonomi makro APBN 2024. Dalam asumsi dasar ekonomi makro APBN 2024, nilai tukar rupiah hanya sebesar Rp 15.000/US$. Serta melampaui realisasi nilai tukar dalam APBN 2023 sebesar Rp 15.255.
Adapun total utang pemerintah per 29 Februari 2024 sebesar Rp 8.319,22 triliun. Mayoritas berasal dari SBN Domestik sebesar Rp 5.947,95 triliun. Dari SBN Valas hanya sebesar Rp 1.388,92 triliun dan pinjaman Rp 982,35 triliun.
Foto: Realisasi utang. (Dok. kemenkeu)
Realisasi utang. (Dok. kemenkeu)
|
Dengan kondisi itu, Bhima menilai Debt Service Ratio (DSR) juga akan membengkak, seiring juga dengan terus turunnya kinerja ekspor Indonesia. DSR ialah perbandingan rasio total utang dengan penerimaan atau penghasilan negara yang biasanya juga berasal dari ekspor.
“Pendapatan pemerintah sebagian besar dalam rupiah sementara ada kewajiban pembayaran utang dengan valas khususnya dolar AS. Efek lain adalah pelemahan kurs rupiah disertai menurunnya kinerja ekspor. Jadi DSR utang kedepan akan membengkak. Indikasi kemampuan bayar utang luar negeri melemah,” ucap Bhima.
Artikel Selanjutnya
Masih Banyak Opsi, BI Bocorkan Arah Kebijakan ke Depan!
(arm/mij)